Perjalanan naik kereta listrik commuter rupanya asyik juga, banyak pengalaman didapat disana.
Di stasion keberangkatan,
semua orang berbaris menunggu kereta listrik, semua bergerak saat kereta listrik datang,
berbondong menuju pintu kereta, berjejal, berebut masuk, bertarung
memperebutkan tempat duduk.
Pemenangnya sudah pasti
gembira, bangga, ia membusungkan dada, sambil menghempaskan diri ke kursi
empuk, ia tersenyum, senyum kemenangan.
Beberapa saat kemudian, kereta
mulai jalan lagi, tetapi mengapa senyum sang pemenang berangsur menghilang,
Rupanya ia mendengar bisikan, nurani, “pasti saja engkau menang, badan kamu kekar,
sedang yang engkau kalahkan adalah kaum lemah,
para ibu dan lanjut usia”, kebanggaannya menyurut, ia telah mengabaikan hati nuraninya, ia menunduk, malu.
Di sudut lain, ada yang
juga tersenyum, senyum lain, senyum kecut, rupanya ia tidak menerima dikalahkan,
tak bisa menerima kenyataan bahwa karena lemah kerap kalah.
Di tempat duduk yang
lain, tampak seorang nenek bersama cucunya juga tersenyum, senyum bahagia, bersyukur,
rupanya mereka baru saja diberi tempat duduk oleh seseorang sebaya, mereka
mendoakan.
Di dekat pintu, berdiri
seseorang, tampak tersenyum bahagia, sangat bahagia, rupanya pemberi tempat duduk, ia bahagia melihat orang lain bahagia, lebih lagi karenanya. Kata orang bijak, ini
merupakan tingkat kebahagiaan yang paling tinggi, mengikuti hati nurani, berhasil membahagiakan,
kebahagiaan semacam ini tak cepat sirna, bertahan lama.
Banyak pilihan senyum, terserah mana yang akan dipilih.
(atenSuharto) as130923